Ilmu Al-Jarah Wa At-Ta’dil
MAKALAH
Ilmu Al-Jarah Wa At-Ta’dil
Untuk memenuhi Tugas Makalah
Mata Kuliah Kajian Tematik Al-Qur’an dan Hadis
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Kelas : Ekonomi syari’ah
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARI’AH
Jl. Veteran No.150, Ciseureuh, Kec. Purwakarta,
Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat 41118
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatu…
Segala puji hanya milik Allah SWT.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rosulullah SAW. Berkat limpahan
dan rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Kajian Tematik Al-Qur’an.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak
sedikit hambatan yang saya hadapi, baik itu yang datang dari saya maupun yang
datang dari luar. Namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
makalah berkat bantuan kecerdasan serta nikmat sehat dari Allah sehingga
kendala-kendala yang saya hadapi dapat teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca
dapat memperluas ilmu tentang Ilmu Al-Jarah
Wa At-Ta’adil yang saya dapatkan dari berbagai sumber informasi internet.
Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. saya
sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi baiknya penulisan
dimasa yang akan datang.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ ..... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ .... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah.............................................................................................................. 1
2.
Rumusan Masalah....................................................................................................................... 1
3.
Tujuan......................................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian
Al – Jarah At –Ta’dil................................................................................................... 2
2. Kegunaan
Al – Jarah At – Ta’dil................................................................................................... 3
3. Tingkatan
Al – Jarah At – Ta’dil ...................................................................................................
4. Perbedaan
Kritik Rijal Al – Hadist dan kitab - kitabnya....................................................... 5
BAB III PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................................................. 7
Saran........................................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 8
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Umat islam
memiliki dua landasan utama yaitu Al-Qur’an dan hadis (sunnah) sebagai pedeoman
hidup di dunia. Al-Qur’an yang notaben kalam Allah, telah dijamin kemurnian da
kebahasannya.yakni Al-Qur’an shahi likulli zamanin wamakan karena Al-Qur’an
diturunkan secara mutawir. Sehingga tidak semua hadis bisa diterima, karena
belum tentu setiap hadis itu berasal dari Rasulullah. Leh karenanya muncullah
ilmu yang bekaitan dengan hadis atau
biasa disebut degan istilah ulumul hadis. Dari berbagai macam cabang ilmu yang
berkaitan dengan hadis, ada satu ilmu yang membahas tetang keadaan perawi dari
segi celaan dan pujian, yaitu ilmu Al- Jarah Wa At-Ta’dil. Dari ilmu inilah
kita bisa mengetahui komentar –komentar para kritikus hadis tentang keadaan
setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantiya
bisa ditentukan status da derajat hadis yangditeliti oleh perawi tersebut.
2. Rumusan Masalah
a. apa yag dimaksud
pengertian ilmu Al-Jarah At-Ta’dil
b. apa kegunaan Al-Jarah
At-Ta’dil
c. bagaimana tingkatan
Al-Jarah At-Ta’dil
d. apa perbedaan Al-jarah
At-Ta’dil
3. Tujuan
a. untuk mengetahui pengertian
ilmu Al-Jarah At-Ta’dil
b. untuk mengetahui kegunaan Al-Jarah At-Ta’dil
c. untuk mengetahui
tingkatan Al-Jarah At-Ta’dil
d. untuk mengetahui
perbedaan Al-jarah At-Ta’dil
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ILMU AL-JARH WA
AL-TA’DIL
Kata Al-Jarh (الجرح) merupakan bentuk dari kata Jaraha-Yajrahu(جرح - يجرح) atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang berarti cacat atau luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan. Dengan demikian, ilmu Al-Jarh wa Ta’dil secara etimologis berarti ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadis.
Kata Al-Jarh (الجرح) merupakan bentuk dari kata Jaraha-Yajrahu(جرح - يجرح) atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang berarti cacat atau luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan. Dengan demikian, ilmu Al-Jarh wa Ta’dil secara etimologis berarti ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadis.
Secara terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mendefinisikanAl-Jarh sebagai berikut:
ظهور وصف في الراوي يثلم عدالته او يخل بحفطه و ضبته مما يتر تب عليه سقوط روايته او ضعفه و ردها
“Nampaknya suatu sifat pada seorang perawi yang dapat merusak nilai keadilannya atau melamahkan nilai hafalan dan ingatan, yang karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya atau ia dipandang lemah dan tertolak”.
Sedangkan Al-Ta’dil didefinisikan sebagai berikut:
تز كية الراوي الحكم عليه بانه عدل او ضابط
“Membersihkan seorang rawi dan menetapkannya
bahwa ia adalah seorang yang adil atau dhabit”.
Dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa kajian ‘Ilmu Jarh wa Ta’dil terfokus pada penelitian terhadap
perawi hadis, sehingga diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang
mempunyai sifat-sifat keadilan atau kedhabit-an dan yang tidak memilikinya.
Dengan tidak memiliki kedua sifat-sifat itu, maka hal tersebut merupakan
indicator akan kecacatan perawi dan secara otomatis periwayatannya tertolak.
Sebaliknya bagi perawi yang memiliki kedua sifat-sifat di atas, secara otomatis
pula ia terhindar dari kecacatan dan berimplikasi bahwa hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima.
Tentang kriteria keadilan atau ke-dhabit-an perawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, misalnya menyebutkan sebagai berikut: Keadilan dan ke-dhabit-an meliputi (1) Al-Sa-doshidq, kejujuran, (2) Al-Syarifah bi Thalab Al-Hadis, terkenal dalam pencarian hadis, (3) Tark Al-Bida’, jauh dari praktek Bid’ah, dan (4) Ijtinab Al-Kabair, bukan pelaku dosa-dosa besar.
Tentang kriteria keadilan atau ke-dhabit-an perawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, misalnya menyebutkan sebagai berikut: Keadilan dan ke-dhabit-an meliputi (1) Al-Sa-doshidq, kejujuran, (2) Al-Syarifah bi Thalab Al-Hadis, terkenal dalam pencarian hadis, (3) Tark Al-Bida’, jauh dari praktek Bid’ah, dan (4) Ijtinab Al-Kabair, bukan pelaku dosa-dosa besar.
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU
JARH WA AL-TA’DIL
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring dengan tumbuhnya periwayatan
hadis. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah sejak terjadinya al-fitnah
al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H.
Pada waktu itu, kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok
yang masing-masing mereka merasa mamiliki legitimasi atagitimasi
atas tindakan yang mereka lakukan apa bila mengutip hadis-hadis
Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis-hadis palsu.
Sejak itulah para ulama hadis menyeleksi hadis-hadis Rasulullah SWA, tidak
hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka juga melakukan kritik
terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadis tersebut. Diantara
sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah
Ibnu Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
Apa yang dilakukan oleh para sahabat
terus berlanjut pada masatabi’in dan atba’ut tabi’in serta masa-masa sesudah
itu untuk memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi
hadis. Diantara para tabi’in yang membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi
(103 H), Ibni Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H).
Ulama-ulama jarh wa ta’dil menerangkan
kejelasan para perawi, walaupun para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun
saudaranya sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara agama
dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah Ibnu al-Hajjaj (82 H-160 H),
pernah ditanyakan tentang hadis Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “Saya takut
kepada neraka”. Hal yang sama pernah dilakukan kepada Ali bin al-Madini (161
H-234 H) tentang ayahnya sendiri. Ali bin al-Madini menjawab, “Tanyakanlah
tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi
lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku adalah seorang yang lemah dalam
bidang hadis”.
Para ahli hadis sangat berhati-hati
dalam memperkatakan keadaan para rawi hadis. Mereka mengetahui apa yang harus
dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk
menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
Ilmu jarh wa ta’dil yang embrionya telah
ada sejak zaman sahabat, telah berkembang sejalan dengan perkembangan
periwayatan hadis dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan
menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai
metode penelitian sanad dan matan hadis, untuk “Menyelamatkan” hadis Nabi dari
“Noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.
Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil
adalah kewajiban syar’Iyang harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi
dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang
amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadis, tidak
sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan
terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.
Jarh dan ta’dil tidak dimaksudkan untuk
memojokkan seorang rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian dan otentisitas
agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu wajar-wajar saja, bahkan
merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu ini tidak
mungkin dapat dibedakan mana hadis yang otentik dan mana hadis yang palsu.
Pada abad ke-2 H, ilmu jarh wa ta’dil
mengalami perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadis untuk
mentajrih dan menta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian
pada masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189H), Abdurrahman bin
Mahdi (198 H), Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan
Abdurrazaq bin Humam (211 H).
C. MANFAAT
ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL
Ilmu
al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatannya seorang
rawi dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi
dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus
ditolak, dam apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist
tersebut terpenuhi.
Apabila
kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan
seksama, maka akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan
hadist ini dinilai sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW
sampai dibukukan adalah perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi
dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian
hadist harus diteliti secara seksama karena terjadi pertikaian dibidang
politik, masalah ekonomi dan lain-lain yang dikaitkan dengan hadist.
Akkibatnya, mereka yang menyandarkan hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal
yang diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk
kepentingan golongannya saja.
Dengan
mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist
shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi,
bukan dari matannya.
D.
PERKEMBANGAN ILMU AL-JARH WAT-TA’DIL
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :
·
Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki : “(Dan)
itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
·
Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang
menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah
melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari
pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak
mempunyai harta” (HR. Muslim).Dua hadits di atas merupakan dalil
Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya
berdasarkan hadits :
·
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah
Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan
Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela
manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun
juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah
agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan At-Ta’dil
dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para
ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang
menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga
bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan
waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Yahya bin
Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury,
Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak
teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia,
mereka berkata,”Kabarkanlah tentang
dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Abu Ishaq
Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari
orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah dia
riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari
Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal
maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari
para dlu’afaa).
Diketahuinya
hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’
yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan
para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : “(Bagaimana dengan)
hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,“Para ulama yang
berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan
periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya
kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan
keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa,
hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan
itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan kepada Yahya
bin Sa’id Al-Qaththan,“Apakah
kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan
menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata,“Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik
bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku.
Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu
tahu itu adalah kedustaan?” (Al-Kifaayah halaman 144).
TINGKATAN-TINGKATAN
AL-JARH WAT-TA’DIL
Para perawi yang meriwayatkan hadits
bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan
hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang
dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal
mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits.
Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna
pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan
Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan
Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).
Tingkatan At-Ta’dil
1. Tingkatan
Pertama
Yang menggunakan
bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan
menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan
dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya”
atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2. Tingkatan
Kedua
Dengan menyebutkan
sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan
periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah,
atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun),
atau tsiqahdan hafidh.
3. Tingkatan
Ketiga
Yang menunjukkan
adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah,
tsabt, atau hafidh.
4. Tingkatan
Keempat
Yang menunjukkan
adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan
dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu
ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak
mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu
Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh
yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan
perawi tersebut).
5. Tingkatan
Kelima
Yang tidak menunjukkan
adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan
seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya
hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6. Tingkatan
Keenam
Isyarat yang mendekati
celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan),
atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).
Hukum
Tingkatan-Tingkatan Ini
·
Untuk
tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih
kuat dari sebagian yang lain.
·
Adapun
tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka
boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka
dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits
mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
·
Sedangkan
untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka
ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian,
karena mereka tidak dlabith.
Tingkatan Al-Jarh
1. Tingkatan
Pertama
Yang menunjukkan
adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti
: layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi
maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya
ada kelemahan).
2. Tingkatan
Kedua
Yang menunjukkan
adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah;
seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia
mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak
diketahui identitas/kondisinya).
3. Tingkatan
Ketiga
Yang menunjukkan lemah
sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if
jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak
halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada
apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa
bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
4. Tingkatan
Keempat
Yang menunjukkan tuduhan
dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh
berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang
ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang
terpercaya).
5. Tingkatan
Kelima
Yang menunjukkan sifat
dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang
dusta), atau dajjal, atau wadldla’(pemalsu hadits),
atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia
memalsikan hadits).
6. Tingkatan
Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang
berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling
pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun
kedustaan”.
Hukum
Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
·
Untuk
dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits
mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang
untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
·
Sedangkan
empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh
ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).
(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).
Kitab-Kitab yang
membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam
ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan
komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah
dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada
Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan
secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan
para generasi awal tersebut.
Para penyusun
mempunyai metode yang berlainan :
·
Sebagian
di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dla’if saja dalam karyanya.
·
Sebagian
lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.
·
dan
sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode
yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai
dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang
sampai kepada mereka :
·
Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin
Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
·
Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir,
karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di
India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath,
dan Ash-Shaghiir].
·
Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah
bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
·
Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah
Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
·
Kitaab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun
min-Ashhaabil-Hadiits,
karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
·
Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin
Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya
Imam Bukhari.
·
Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr
binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
·
Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin
Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab
Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
·
Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari
(wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang
dicetak dengan nomor.
·
Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman
bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling
besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai
pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan
para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi
hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti
ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
·
Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu
Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
·
Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man
Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali
bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
·
Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati
Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi
(wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.
·
Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari
fish-Shahiih,
karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H),
manuskrip.
·
Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin
Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.
·
Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar
Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
·
Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali
bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
·
Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah
Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
·
Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll
Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
·
Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh
Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H),
termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas
perawi kutub sittah. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan
dan peringkasan atasnya.
·
Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh
Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
·
Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
·
Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi
juga.
·
Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat
fil-Kutubis-Sittah,
karya Adz-Dzahabi juga.
·
Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu
Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan
dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah
kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu
hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan
di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab
paling baik dan paling detil.
·
Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar
juga.
·
Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin
Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
·
Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu
Hajar Al-‘Atsqalany.
·
Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh
Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang
biografi orang-orangyang di-jarh.
·
Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu
Hajar Al-‘Atsqalani.
·
Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah
Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H).
Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.
Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.
Komentar
Posting Komentar