Ilmu Al-Jarah Wa At-Ta’dil

MAKALAH
 Ilmu Al-Jarah Wa At-Ta’dil



Untuk memenuhi Tugas Makalah
Mata Kuliah Kajian Tematik Al-Qur’an dan Hadis



Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Kelas : Ekonomi syari’ah

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARI’AH
Jl. Veteran No.150, Ciseureuh, Kec. Purwakarta,
 Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat 41118














KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatu…
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rosulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya  kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Kajian Tematik Al-Qur’an.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi, baik itu yang datang dari saya maupun yang datang dari luar. Namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah berkat bantuan kecerdasan serta nikmat sehat dari Allah sehingga kendala-kendala yang saya hadapi dapat teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Ilmu Al-Jarah Wa At-Ta’adil yang saya dapatkan dari berbagai sumber informasi internet.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi baiknya penulisan dimasa yang akan datang.











i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ ..... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ .... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah.............................................................................................................. 1
2.      Rumusan Masalah....................................................................................................................... 1
3.      Tujuan......................................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
1.    Pengertian Al – Jarah At –Ta’dil................................................................................................... 2
2.    Kegunaan Al – Jarah At – Ta’dil................................................................................................... 3
3.    Tingkatan Al – Jarah At – Ta’dil  ...................................................................................................           
4.     Perbedaan Kritik Rijal Al – Hadist dan kitab - kitabnya....................................................... 5

BAB III PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................................................. 7
Saran........................................................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 8










BAB I

PENDAHULUAN

1.  Latar Belakang Masalah

            Umat islam memiliki dua landasan utama yaitu Al-Qur’an dan hadis (sunnah) sebagai pedeoman hidup di dunia. Al-Qur’an yang notaben kalam Allah, telah dijamin kemurnian da kebahasannya.yakni Al-Qur’an shahi likulli zamanin wamakan karena Al-Qur’an diturunkan secara mutawir. Sehingga tidak semua hadis bisa diterima, karena belum tentu setiap hadis itu berasal dari Rasulullah. Leh karenanya muncullah ilmu yang bekaitan  dengan hadis atau biasa disebut degan istilah ulumul hadis. Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadis, ada satu ilmu yang membahas tetang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu ilmu Al- Jarah Wa At-Ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar –komentar para kritikus hadis tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantiya bisa ditentukan status da derajat hadis yangditeliti oleh perawi tersebut.

2. Rumusan Masalah

            a. apa yag dimaksud pengertian ilmu Al-Jarah At-Ta’dil
            b. apa kegunaan Al-Jarah At-Ta’dil
            c. bagaimana tingkatan Al-Jarah At-Ta’dil
            d. apa perbedaan Al-jarah At-Ta’dil

3. Tujuan

            a. untuk mengetahui pengertian ilmu Al-Jarah At-Ta’dil
            b. untuk mengetahui kegunaan Al-Jarah At-Ta’dil
            c. untuk mengetahui tingkatan Al-Jarah At-Ta’dil
            d. untuk mengetahui perbedaan Al-jarah At-Ta’dil


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL
 
          Kata Al-Jarh (الجرح) merupakan bentuk dari kata Jaraha-Yajrahu(جرح - يجرح) atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang berarti cacat atau luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan. Dengan demikian, ilmu Al-Jarh wa Ta’dil secara etimologis berarti ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadis.

Secara terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib mendefinisikanAl-Jarh sebagai berikut:

ظهور وصف في الراوي يثلم عدالته او يخل بحفطه و ضبته مما يتر تب عليه سقوط روايته او ضعفه و ردها     
    
“Nampaknya suatu sifat pada seorang  perawi yang dapat merusak nilai keadilannya atau melamahkan nilai hafalan dan ingatan, yang karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya atau ia dipandang lemah dan tertolak”.

            Sedangkan Al-Ta’dil didefinisikan sebagai berikut:

تز كية الراوي الحكم عليه بانه عدل او ضابط   

“Membersihkan seorang rawi dan menetapkannya bahwa ia adalah seorang yang adil atau dhabit”.
           
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kajian ‘Ilmu Jarh wa Ta’dil terfokus pada penelitian terhadap perawi hadis, sehingga diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang mempunyai sifat-sifat keadilan atau kedhabit-an dan yang tidak memilikinya. Dengan tidak memiliki kedua sifat-sifat itu, maka hal tersebut merupakan indicator akan kecacatan perawi dan secara otomatis periwayatannya tertolak. Sebaliknya bagi perawi yang memiliki kedua sifat-sifat di atas, secara otomatis pula ia terhindar dari kecacatan  dan berimplikasi  bahwa hadis yang diriwayatkannya dapat diterima.

            Tentang kriteria keadilan atau ke-dhabit-an perawi, Al-Khatib Al-Baghdadi, misalnya menyebutkan sebagai berikut: Keadilan dan ke-dhabit-an meliputi (1) Al-Sa-doshidq, kejujuran, (2) Al-Syarifah bi Thalab Al-Hadis, terkenal dalam pencarian hadis, (3) Tark Al-Bida’, jauh dari praktek Bid’ah, dan (4) Ijtinab Al-Kabair, bukan pelaku dosa-dosa besar.







B.  SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU JARH WA AL-TA’DIL
       Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadis. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah sejak terjadinya al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing mereka merasa mamiliki legitimasi  atagitimasi  atas tindakan yang mereka lakukan apa bila mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW. Jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis-hadis palsu. Sejak itulah para ulama hadis menyeleksi hadis-hadis Rasulullah SWA, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadis tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).
       Apa yang dilakukan oleh para sahabat terus berlanjut pada masatabi’in dan atba’ut tabi’in serta masa-masa sesudah itu untuk memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi hadis. Diantara para tabi’in yang membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibni Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H). Ulama-ulama  jarh wa ta’dil menerangkan kejelasan para perawi, walaupun para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara agama dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah Ibnu al-Hajjaj (82 H-160 H), pernah ditanyakan tentang hadis Hakim bin Zubair. Syu’bah menjawab: “Saya takut kepada neraka”. Hal yang sama pernah dilakukan kepada Ali bin al-Madini (161 H-234 H) tentang ayahnya sendiri. Ali bin al-Madini menjawab, “Tanyakanlah tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku adalah seorang yang lemah dalam bidang hadis”.
       Para ahli hadis sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan para rawi hadis. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.
       Ilmu jarh wa ta’dil yang embrionya telah ada sejak zaman sahabat, telah berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadis dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis, untuk “Menyelamatkan” hadis Nabi dari “Noda-noda” yang merusak dan menyesatkan.
       Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah kewajiban syar’Iyang harus dilakukan. Investigasi terhadap para perawi dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti, pada hadis, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.
       Jarh dan ta’dil tidak dimaksudkan untuk memojokkan seorang rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian dan otentisitas agama Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu wajar-wajar saja, bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadis yang otentik dan mana hadis yang palsu.
       Pada abad ke-2 H, ilmu jarh wa ta’dil mengalami perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadis untuk mentajrih dan menta’dil para perawi. Diantara ulama yang memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-Qathtan (189H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun (189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdurrazaq bin Humam (211 H).
C.  MANFAAT ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL

Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatannya seorang rawi dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dam apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist tersebut terpenuhi.

Apabila kita tidak memahami ilmu al-jarh wa at-ta’dil dan tidak mempelajarinya dengan seksama, maka akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadist ini dinilai sama. Padahal, perjalanan hadist semenjak Nabi Muhammad SAW sampai dibukukan adalah perjalanan yang panjang, dan diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian hadist harus diteliti secara seksama karena terjadi pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan lain-lain yang dikaitkan dengan hadist. Akkibatnya, mereka yang menyandarkan hadist terhadap Rasulullah SAW, padahal yang diriwayatkannya adalah riwayat yang bohong. Dan mereka melakukan itu untuk kepentingan golongannya saja.

Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa mnyeleksi mana hadist shohih, hasan, maupun hadist yang dho’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

D. PERKEMBANGAN ILMU AL-JARH WAT-TA’DIL

Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :

·         Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki : “(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
·         Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
·         Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.




Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).

Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).

Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa).
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : “(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,“Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,“Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata,“Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?” (Al-Kifaayah halaman 144).

TINGKATAN-TINGKATAN AL-JARH WAT-TA’DIL
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).



Tingkatan At-Ta’dil

1.  Tingkatan Pertama

Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.

2.  Tingkatan Kedua

Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqahdan hafidh.

3.  Tingkatan Ketiga

Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.

4.  Tingkatan Keempat

Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : ShaduqMa’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).

5.  Tingkatan Kelima

Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).

6.  Tingkatan Keenam

Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya).

Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini

·         Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
·         Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
·         Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.


Tingkatan Al-Jarh

1.  Tingkatan Pertama

Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).

2.  Tingkatan Kedua

Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).

3.  Tingkatan Ketiga

Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).

4.  Tingkatan Keempat

Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).

5.  Tingkatan Kelima

Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’(pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits).

6.  Tingkatan Keenam
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh

·         Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
·         Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).

Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil

Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.

Para penyusun mempunyai metode yang berlainan :

·         Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dla’if saja dalam karyanya.
·         Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.
·         dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka :
·         Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
·         Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-KabiirAl-Ausath, dan Ash-Shaghiir].
·         Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
·         Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
·         Kitaab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
·         Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
·         Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.
·         Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
·         Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
·         Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
·         Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.
·         Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.
·         Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.
·         Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.
·         Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.
·         Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
·         Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
·         Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.
·         Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.
·         Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
·         Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
·         Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
·         Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.
·         Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
·         Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.
·         Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.
·         Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
·         Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.
·         Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.
·         Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.
·         Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H).
Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

contoh proposal santunan anak yatim piatu

makalah moral dan etika bisnis