ATHEISME


ATHEISME

 

PENGERTIAN ATHEISME

 

Ada beberapa pengertian atheisme. Dewasa ini pemahaman atau keterikatan mengenai ketuhanan sangat banyak bermunculan apalagi masalah ketidak yakinan seseorang kepada sang maha agung yakni Tuhan. Baik itu di dunia timur maupun di dunia barat, dikarenakan masalah semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini. Sehingga orang orang berpaling kedalam kepercayaan yang di yakini nya sebagai sesuatu yang benar, baik itu dirinya sendiri maupun alam yang tampak ini. Dan mulai meragukan keyakinan nya kepada yang di agung nya itu sendiri yakniTuhan. Dan sampai sampai ada yang meyakini bahwa tuhan itu tidak ada (atheis).
Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (átheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia. Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah. Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik.Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme, rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.
Paham Theisme, secara umum didefinisikan sebagai kepercayaan pada adanya paling tidak satu Tuhan/Dewa. Berkebalikan dengan hal ini adalah Paham Atheisme yang dapat didefinisikan secara umum sebagai tidak adanya kepercayaan atas keberadaan Tuhan / setiap Dewa. Kebanyakan ketidaksetujuan atas pendapat ini berasal dari orang-orang Kristen yang bersikeras bahwa ateisme merupakan penolakan atas adanya dewa, atau setidaknya atas adanya Tuhan mereka. Hanya  karena sebatas tidak adanya keyakinan pada Tuhan, mereka mengklaim , baik yang berpandangan agnostisisme - meskipun agnostisisme memiliki definisi tersendiri dan merupakan konsep yang berbeda sekali (dengan Atheisme).
Definisi secara umum dari atheisme yang merupakan definisi paling akurat. Bukan hanya karena menggunakan definisi ateis yang dapat denga mudah diterima, akan tapi definisi ini didukung dengan sesuatu yang komprehensif, kamus lengkap. Tetapi bukanlah karena menawarkan definisi dari kamus tidak berarti bahwa itu merupakan definisi yang "lebih baik". Kadang kala mungkin untuk beberapa kasus, gagasan bahwa definisi lain akan lebih baik untuk digunakan- mungkin itu dapat menghilangkan kebingungan dan menjadi lebih tepat untuk digunakan, misalnya.
Untungnya, definisi yang digunakan untuk Atheis yang ditemukan dalam kamus sudah merupakan definisi terbaik - tidak ada yang perlu diubah. Keunggulan dari definisi secara umum atas definisi secara sempit (dari Atheisme) terletak pada kenyataan bahwa hal itu memungkinkan kita untuk menggambarkan (Atheisme) dengan sudut pandang yang lebih luas.
Bagi mereka yang bersikeras pada definisi yang sempit, ada tiga pandangan dasar:
·                     Teisme: keyakinan pada Tuhan (saya).
·                     Agnostisisme: tidak tahu jika dewa-dewa benar-benar ada.
·                     Ateisme: penolakan terhadap Tuhan (saya)

Secara alami Atheisme memiliki dua poin ciri klarifikasi lebih lanjut yang melibatkan ide-ide umum tentang theisme. Yang pertama melibatkan gagasan tentang "Tuhan" secara metafora - misalnya, seorang Theis yang percaya pada "Tuhan" sebagai prinsip hati nurani atau moralitas. Pada pandangan ini "Tuhan" ada dalam pikiran seseorang dan hal ini tidak dijadikan permasalahan bagi seorang Atheis. Ateis setuju bahwa Tuhan ada sebagai gagasan dalam pikiran masyarakat; ketidaksepakatan terletak di atas apakah Tuhan benar-benar ada secara independen yang berada diluar dari kepercayaan manusia. Mereka inilah para dewa / Tuhan yang tidak diyakini atau ditolak oleh seorang Atheis.
Jenis kedua Theisme melibatkan dewa yang ada sebagai obyek fisik: batu, pohon, sungai, atau bahkan alam semesta itu sendiri. Orang-orang yang meyakini hal tersebut memperlakukan benda-benda ini menjadi dewa-dewa mereka, tapi apakah orang-orang ateis menolak keberadaan mereka? Tentu saja tidak - tetapi bagaimana mereka tetap memiliki pandangan Atheis? Titik ketidaksepakatan di sini adalah apakah label "Tuhan" memiliki ciri yang dapat disandingkan dengan label yang lebih umum dari "batu," "pohon," atau "alam semesta" Jika tidak., inilah yang menjadikan orang-orang ateis prihatin, objek tersebut tidak memiliki ciri daripada "Tuhan" dan menjadikan mereka tetap memilih untuk menjadi Atheis.
Atheisme mulai diberikan landasan rasional ilmiah ketika Ludwig Feuerbach menerbitkan karyanya The Essence of Christianity dan melakukan kritik agama khususnya agama Kristen. Atheisme model Ludwig Feuerbach adalah filsafat model “tak lain daripada”. Hal ini karena pemikiran yang diajukan hanya melihat sesuatu dibalik/dibelakang masalah yang dibicarakannya. Bukannya secara jujur mengungkapkan kebenaran dan kesalahan dari agama tapi langsung masuk kedalam adanya sesuatu di balik layar dari agama itu : “bahwa agama tak lain daripada….”. Landasan filosofis ini sering disebut dengan nama Reduksionisme.
Latar belakang munculnya Atheis
Ateis adalah suatu paham yang muncul sekitar abad ke-19 masehi, yang mana pada masa itu sekelompok orang telah di pengaruhi oleh alam, keaktualan diri sendiri, percaya pada faktual nyata alam panca indra. Sehingga sesuatu yang di luar diri manusia itu tidaklah ada.
Pengaruh eksistensialisme pada abad ke-19 awal abad-20 telah mempengaruhi manusia. Dalam filsafat eksistensialisme, mengajarkan bahwa manusia yang sesungguhnya bereksistensi. Maksudnya manusia sama sekali bebas, ia dihukum untuk hidup dengan bebas. Dapat kita pahami bahwa eksistensilisme inilah yang sangat mempengaruhi untuk tidak percaya kepada Tuhan.
Dari rujukan lain penulis mendapatkan bahwa, latar belakang munculnya Atheis ini pertama kali di gunakan untuk merujuk pada ”kepercayaan tersendiri” pada akhir abad ke- 18 di eropa, utama nya merujuk kepada ketidak percayaan pada tuhan monoteis. Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada “ketidakpercayaan pada semua Tuhan/Dewa” walaaupun masih umum untuk merujuk atheis sebagai “ketidakpercayaan pada tuhan (monoteis).”
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya Atheis ini yakni;
·                     Perkembangan teknologi dan sains
·                     Faham sosial progresif
·                     Faktor moraliti

Sejarah Terbentuknya Atheis (tdk percaya tuhan)
Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme.Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.

Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (atheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).

Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.

Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).

Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,] rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.

Pelopor Atheis

Sejarah Terbentuknya Atheis (tdk percaya tuhan)

Penulis Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach adalah salah seorang pertama yang menyebut dirinya ateis. Dalam buku The System of Nature (1770), ia melukiskan jagad raya dalam pengertian materialisme filsafat, determinisme yang sempit, dan ateisme. Buku ini dan bukunya Common Sense (1772) dikutuk oleh Parlemen Paris, dan salinan-salinannya dibakar di depan umum.

Ateisme, agama, dan moralitas



Karena ketiadaan Tuhan pencipta, Agama Buddha umumnya dideskripsikan sebagai nonteis.
Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal.

Pada akhir-akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis dan Kristen ateis.

Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun diluar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.

Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat politik. Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim.

Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.

Filsuf Susan Neiman dan Julian Baggini menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri.

Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.

Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius.

Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif. Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.

Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme. Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan) berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka. Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.

Penyebaran Atheis

Sejarah Terbentuknya Atheis (tdk percaya tuhan)

Adalah sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden survei dapat mendefinisikan "ateisme" secara berbeda-beda ataupun menarik garis batas yang berbeda antara ateisme, kepercayaan non-religius, dan kepercayaan religius non-teis dan spiritual.

Selain itu, masyarakat di beberapa belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai ateis untuk menghindari stigma sosial, diskriminasi, dan penganiayaan. Survei tahun 2005 yang dipublikasi dalam Encyclopædia Britannica menunjukkan bahwa kelompok non-religius mencapai sekitar 11,9% populasi dunia, dan ateis sekitar 2,3%.

Jumlah ini tidak termasuk orang-orang yang memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha. Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa, dan dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih percaya kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa.

Di antara orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak percaya (62%) dan orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32% lainnya mengaku sebagai agnostik. Survei resmi

Uni Eropa memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya pada tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk harus atau roh", manakala 52% percaya pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi 65% pada orang-orang yang putus sekolah pada usia 15; responden survei yang menganggap dirinya berasal dari latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada yang merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras.

Sebuah surat yang dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa kepercayaan pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi terendah di antara para anggota Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, hanya 7,0% anggota yang percaya pada tuhan personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara umumnya.

Pada tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi Massachusetts dan Michael Shermer dari California State University melakukan sebuah kajian yang menemukan bahwa pada sampel survei mereka yang terdiri dari orang dewasa AS yang "dipercayai" (12% Ph.D dan 62% lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan, dan terdapat sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan.

Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah artikel dalam Majalah Mensa. Penemuan ini secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis tahun 1958 yang dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford.

Ia menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama dengan pengukuran kecerdasan pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun korelasi negatif ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak mengidentifikasi sebab musababnya, namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin memainkan sebagian peran penting.

Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah agama anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama ataupun menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius (humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini.[60] Pada sensus Selandia Baru 2006 yang menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Dasar pemikiran Atheis

Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan ateisme teoretis. Bentuk-bentuk ateisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang tuhan/dewa.

Ateisme praktis:

Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau mempercayainya."

Ateisme praktis dapat berupa
* Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
* Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis;
* Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama; dan
* Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.

Ateisme teoretis

Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.

Argumen

Argumen epistemologis dan ontologis :

Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek.

Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia.

Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume, menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.

Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.

Argumen metafisika

Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa realitas adalah homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk fisikalisme, sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis metafisik relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh ateisme metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.

Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi

Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi manusia.

Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis.[43] Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya Feuerbach, berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja.

Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori dan prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka adalah perlu untuk menghapusnya."

Argumen logis dan berdasarkan bukti

Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.

Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan welas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang. Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha.

Argumen antroposentris:

Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan individu untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.

Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan Tuhan akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak memiliki dasar etika, atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan. Blaise Pascal memaparkan argumen ini pada tahun 1669.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

contoh proposal santunan anak yatim piatu

makalah moral dan etika bisnis

Ilmu Al-Jarah Wa At-Ta’dil